Oleh: Kisan Rudianto Sianturi Mahasiswa Universitas Jambi Fakultas Hukum
Jambi – Penggusuran masyarakat di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau
(Kepri) masih berlanjut hingga saat ini. Tanah milik leluhur mereka
terancam diambil alih untuk investasi Proyek Strategis Nasional (PSN)
Rempang Eco-City
“Keputusan memberikan seluruh lahan kepada investor adalah sikap
yang tidak memihak kepada rakyat dan berdampak pada 16 kampung.
tua Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat yang sudah
bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834,” ujar Ahlul Fadli,
Koordinator Media. Bentrokan antara masyarakat dan pasukan
gabungan baru terjadi pada tahap pembersihan lokasi (7 dan 11
September 2023), yang menyebabkan kerusakan material dan cedera
pada masyarakat lokal dan pasukan pemerintah dalam kesulitan. Luka
sosial terbuka. Pasca bentrokan, solidaritas Melayu bergulir bagaikan
bola salju. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto, lahan yang menjadi
penyebab konflik di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki
Hak Guna Usaha (HGU). Dalam pernyataannya, Hadi mengungkapkan
bahwa masyarakat yang tinggal di Pulau Rempang tidak memiliki
sertifikat tanah karena pada masa lalu, kepemilikan lahan di kawasan
tersebut berada di bawah otoritas Batam.
Hadi menjelaskan lebih lanjut bahwa lahan yang akan digunakan
sebagai lokasi Rempang Eco City memiliki luas sekitar 17 ribu hektar
dan sebagian besar merupakan kawasan hutan. Dari total luas tersebut,
sekitar 600 hektar merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang
dikeluarkan oleh BP Batam.
Dalam konflik yang muncul, terdapat aspek filsafat yang mendalam
yang dapat kita jadikan bahan refleksi. Pertama-tama, kita akan
melakukan analisis mendalam untuk mengidentifikasi akar konflik
di Pulau Rempang. Ini bisa melibatkan pertimbangan terhadap
sengketa kepemilikan tanah, persaingan sumber daya, atau perbedaan
budaya yang mungkin menjadi pemicu konflik. Filsafat akan
digunakan untuk memahami sifat konflik itu sendiri. Bagaimana
konflik didefinisikan, dan apakah ada teori-teori filsafat yang dapat
membantu kita memahami mengapa konflik muncul dalam konteks
tertentu. Dalam menghadapi konflik, konsep keadilan akan menjadi
fokus utama.
Analisis Hak Kepemilikan, Filsafat hukum akan digunakan untuk
memahami konsep kepemilikan dan hak-hak yang terlibat dalam
konflik, termasuk pertanyaan tentang hak tanah, sumber daya alam, dan
kepemilikan kolektif. Pertimbangan Sosial dan Kultural, Filsafat sosial
dan budaya akan digunakan untuk merenungkan bagaimana.
masyarakat di Pulau Rempang dapat mencapai keselarasan dan
harmoni dalam keragaman budaya, etnis, dan sosial. Etika Kolaborasi,
Bagaimana masyarakat dapat bekerja sama secara etis untuk mengatasi
perbedaan dan konflik dan mencapai keharmonisan. Pendekatan
Filosofis, Bagaimana filsafat dapat diterapkan dalam penyelesaian
konflik konkret di Pulau Rempang. Bagaimana pendekatan filsafat
dapat membantu dalam merancang solusi yang adil dan berkelanjutan.
Peran Pendidikan Filsafat, Menggunakan filsafat sebagai alat untuk
memberikan pendidikan dan kesadaran kepada masyarakat tentang
konflik, hak-hak mereka, dan bagaimana mencapai keharmonisan.
Dengan konsep ini, kita akan merenungkan isu-isu konflik dan
keharmonisan di Pulau Rempang melalui lensa filsafat, mencari
pemahaman yang lebih dalam dan memberikan pandangan yang dapat
digunakan untuk merumuskan solusi yang lebih baik dalam mengatasi
konflik dan mencapai keharmonisan di wilayah tersebut. Apabila kita
kaitkan permasalahan di atas dengan filsafat hukum. Hukum
memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya Filsafat etika akan
digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah ada
pelanggaran etis yang terjadi dalam konflik ini dan bagaimana
memastikan keadilan dalam penyelesaian konflik. Pertimbangan
tentang bagaimana sistem hukum atau aturan dapat digunakan untukmencapai keadilan dalam konflik di Pulau Rempang.